Wednesday 5 October 2016

Opini: Kesadaran Yang Dijual-Belikan

            Di Indonesia, Internet menjadi suatu media yang tren di era 2000-an. Menurut hasil riset pasar e-Marketer, pada tahun 2016 ini, pengguna internet di tanah air menduduki peringkat ke-6 di dunia. Hampir 103 juta jiwa mengakses media baru tersebut. Itu artinya, bila asumsi penduduk Indonesia adalah 250 juta jiwa, lebih dari 40% masyarakat Indonesia telah menggunakan internet. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Hal ini menunjukkan betapa tergila-gilanya masyarakat Indonesia akan kehadiran internet.

            “Pesona” internet di mata dunia, khususnya di Indonesia, muncul bukan tanpa alasan. Internet menyediakan kesempatan yang luas bagi para penggunanya. Misalnya dalam ranah hiburan, kini anak-anak tak perlu lagi ke luar rumah kemudian menghampiri teman atau tetangga dekat untuk bermain. Mereka cukup bermain game online yang dapat diakses melalui internet. Atau misalnya dalam hal bersosialisasi, kini reunian dengan teman sekolah dapat diagendakan walau tak bertatap muka. Dengan media sosial, munculah berbagai grup yang memudahkan para pengguna dalam berkomunikasi satu sama lain. Dan masih banyak lagi hal positif yang didapatkan dari kehadiran internet.

            Media online merupakan media yang diakses internet. Media online berbasis telekomunikasi digital. Semula yang awalnya berita hanya bisa dibaca di koran, kini bisa diakses melalui portal berita secara online. Artinya, hakikat media online sebenarnya sama dengan hakikat dari media offline, yaitu untuk menyampaikan suatu informasi bagi khalayak. Hanya berbeda bentuk penyajiannya saja.

Namun, seiring berjalannya zaman, media online bak kehilangan roh-nya sebagai media. Media online kini telah dikomodifikasi oleh para penggunanya sebagai “pasar” yang dapat digunakan untuk menghasilkan uang. Dari e-journal.uajy.ac.id dikatakan: “Secara teoritik, komodifikasi menjelaskan cara kapitalis dalam menjaga suatu tujuan untuk mengakumulasi kapital atau merealisasi nilai melalui transformasi nilai guna kepada nilai tukar. Komodifikasi telah mengubah objek, kualitas dan tanda-tanda menjadi komoditas dimana komoditas merupakan item yang dapat diperjualbelikan di pasar”.

Penulis mencoba menganalisa gejala komodifikasi media online ini pada tren “Jual Pengikut” di Instagram. Pengikut (follower) merupakan penggunakan instagram yang mengikuti akun yang kita miliki. Follower bisa memilih akun siapa yang akan diikutinya. Analogi sederhananya seperti ini, jika akun yang kita miliki adalah sebuah negara maka follower adalah masyarakat negara tersebut. Menjadi seorang warga dari suatu negara sudah semestinya dilakukan secara sadar. Artinya, seharusnya follower instagram itu adalah orang-orang yang sadar dan memiliki alasan mengapa dia harus mengikuti suatu akun.

Namun, tren yang berkembang saat ini adalah menjadikan follower sebagai komoditas. Follower dijual, bahkan diobral dengan harga yang relatif murah. Pada salah satu jasa jual follower disebutkan untuk membeli 500 follower cukup dengan membayar 35 ribu rupiah, 1.000 followers seharga 60 ribu rupiah, dst. Hal ini dilakukan dengan dalil bisnis. Alih-alih mempromosikan usaha melalui media online (dalam hal ini instagram), segala cara ditempuh supaya produk atau usaha yang dimilikinya diketahui banyak orang. Ini konyol dan sangat kapitalis. Kita, masyarakat digital, baik sadar maupun tidak telah mendekonstruksi kesadaran kita sendiri dalam bermedia. Masyarakat (follower) dijual. Dalam konteks bermedia, artinya kesadaran kita telah dijual pula. Dan itu juga mengindikasikan bahwa kita telah bersedia “dijual”.

Mari semakin kritis dan cerdas dalam mengakses media, khususnya media online.

~ Salam komunikasi

No comments:

Post a Comment