Di
Indonesia, Internet menjadi suatu media yang tren di era 2000-an. Menurut hasil
riset pasar e-Marketer, pada tahun 2016 ini, pengguna internet di tanah air
menduduki peringkat ke-6 di dunia. Hampir 103 juta jiwa mengakses media baru
tersebut. Itu artinya, bila asumsi penduduk Indonesia adalah 250 juta jiwa, lebih
dari 40% masyarakat Indonesia telah menggunakan internet. Mulai dari anak-anak
hingga orang dewasa. Hal ini menunjukkan betapa tergila-gilanya masyarakat
Indonesia akan kehadiran internet.
“Pesona”
internet di mata dunia, khususnya di Indonesia, muncul bukan tanpa alasan.
Internet menyediakan kesempatan yang luas bagi para penggunanya. Misalnya dalam
ranah hiburan, kini anak-anak tak perlu lagi ke luar rumah kemudian menghampiri
teman atau tetangga dekat untuk bermain. Mereka cukup bermain game online yang dapat diakses melalui
internet. Atau misalnya dalam hal bersosialisasi, kini reunian dengan teman
sekolah dapat diagendakan walau tak bertatap muka. Dengan media sosial,
munculah berbagai grup yang memudahkan para pengguna dalam berkomunikasi satu
sama lain. Dan masih banyak lagi hal positif yang didapatkan dari kehadiran
internet.
Media
online merupakan media yang diakses internet. Media online berbasis
telekomunikasi digital. Semula yang awalnya berita hanya bisa dibaca di koran,
kini bisa diakses melalui portal berita secara online. Artinya, hakikat media
online sebenarnya sama dengan hakikat dari media offline, yaitu untuk
menyampaikan suatu informasi bagi khalayak. Hanya berbeda bentuk penyajiannya
saja.
Namun, seiring berjalannya zaman, media
online bak kehilangan roh-nya sebagai
media. Media online kini telah dikomodifikasi oleh para penggunanya sebagai “pasar”
yang dapat digunakan untuk menghasilkan uang. Dari e-journal.uajy.ac.id
dikatakan: “Secara teoritik, komodifikasi menjelaskan cara kapitalis dalam
menjaga suatu tujuan untuk mengakumulasi kapital atau merealisasi nilai melalui
transformasi nilai guna kepada nilai tukar. Komodifikasi telah mengubah objek,
kualitas dan tanda-tanda menjadi komoditas dimana komoditas merupakan item yang
dapat diperjualbelikan di pasar”.
Penulis mencoba menganalisa gejala
komodifikasi media online ini pada tren “Jual Pengikut” di Instagram. Pengikut
(follower) merupakan penggunakan
instagram yang mengikuti akun yang kita miliki. Follower bisa memilih akun siapa yang akan diikutinya. Analogi
sederhananya seperti ini, jika akun yang kita miliki adalah sebuah negara maka follower adalah masyarakat negara
tersebut. Menjadi seorang warga dari suatu negara sudah semestinya dilakukan
secara sadar. Artinya, seharusnya follower
instagram itu adalah orang-orang yang sadar dan memiliki alasan mengapa dia
harus mengikuti suatu akun.
Namun, tren yang berkembang saat ini
adalah menjadikan follower sebagai
komoditas. Follower dijual, bahkan
diobral dengan harga yang relatif murah. Pada salah satu jasa jual follower disebutkan untuk membeli 500 follower cukup dengan membayar 35 ribu
rupiah, 1.000 followers seharga 60
ribu rupiah, dst. Hal ini dilakukan dengan dalil bisnis. Alih-alih
mempromosikan usaha melalui media online (dalam hal ini instagram), segala cara
ditempuh supaya produk atau usaha yang dimilikinya diketahui banyak orang. Ini
konyol dan sangat kapitalis. Kita, masyarakat digital, baik sadar maupun tidak
telah mendekonstruksi kesadaran kita sendiri dalam bermedia. Masyarakat (follower) dijual. Dalam konteks
bermedia, artinya kesadaran kita telah dijual pula. Dan itu juga
mengindikasikan bahwa kita telah bersedia “dijual”.
Mari semakin kritis dan cerdas dalam mengakses media, khususnya media online.
Mari semakin kritis dan cerdas dalam mengakses media, khususnya media online.
~ Salam komunikasi
No comments:
Post a Comment